Article Detail

SEPERTI HUJAN

Hujan tak henti-hentinya turun. Aku memang merindukan hujan yang sudah lama tidak mengguyur dan ini kali pertama hujan turun lagi. Tetapi, aku benci ketika hujan menghalangiku untuk pergi ke sekolah. Bukan karena aku tak punya sebuah mobil untuk mengantarku pergi ke sekolah tanpa terkena setetes pun air hujan. Mobil dan Pak Makmur, supir pribadiku, bahkan selalu siap sedia mengantarkanku kapanpun. Aku hanya tak suka merepotkan orang lain untuk hal sepele. Sepeda Hello Kitty ini pun mampu kalau sekadar kugunakan untuk pergi ke sekolah, toh, jarak dari rumah ke sekolah tidak terlalu jauh.

                Namaku Chinta. Sekali lagi, Chinta pakai “H”. Bukan sekadar Cinta, apalagi seseorang seberuntung Cinta dalam AADC yang mempunyai Rangga, seseorang yang menyayanginya. Aku? Mungkin tak ada seorangpun yang menyayangiku. Aku. Seorang Chinta yang butuh cinta. Papaku adalah pemilik Centure Club, yang membuatnya menjadi sibuk dan jarang sekali pulang ke rumah. Mamaku? Separuh dari hidupku yang sekarang pergi entah ke mana. Aku anak pertama dan mungkin yang terakhir, karena pada kenyataannya orang tuaku tak pernah bersatu lagi dan sampai sekarang aku tak mempunyai adik.

                Di tengah tetesan hujan, aku mengayuh sepeda Hello Kitty pemberian mamaku beberapa tahun yang lalu ini dengan cepat, secepat keinginanku untuk bangkit dari kesendirian ini. Setelah tiba di sekolah, sepeda kutaruh di tempat parkir. Ketika teman-teman lain tengah berlari demi menghindari basah karena tetesan hujan, aku malah berjalan santai menuju kelas di tengah guyuran hujan. Aku masuk ke kelas dan sudah banyak teman-temanku di sana.

“Ya, ampun, Chinta, kita sama ternyata. Lihat nih, aku juga basah kuyup,” kata Windy.

“Hujan pagi-pagi begini bikin susah, ya. Aku sedang dalam perjalanan, tiba-tiba turun hujan deras. Aku tidak sempat pakai jas hujan, eh sudah basah kuyup begini. Menyebalkan sekali,” sambungnya.

“Nikmati saja. Hujan tahu kapan ia harus turun dan kapan ia harus berhenti,” jawabku santai.

“Ngomong apa, sih, Chin? Nggak jelas banget,” heran Olline.

Ya, beginilah aku. “Chinta si orang aneh” mungkin begitu menurut teman-temanku.

                Aku segera meletakkan tasku di kursi di mana aku biasa duduk. Ya, di barisan nomor 2 dari depan dan tepat di bawah kipas angin. Selalu di situ. Masih dengan keadaan basah kuyup, aku menguap dengan lebarnya. Memang semalam aku begadang untuk berlatih praktik membaca puisi, jadi detik-detik sebelum bel masuk seperti ini aku manfaatkan untuk sebentar memejamkan mata. “Kriiing...!” Bel berbunyi dengan nyaringnya, bahkan sebelum aku sempat masuk ke alam mimpi. Tak apalah, paling tidak, aku bisa sebentar memejamkan mata. Sampai sudah saatnya mulai pelajaran pun aku duduk sendirian di antara teman-temanku yang lain, yang duduk berpasangan. Keadaan seperti ini sudah biasa bagiku dan aku tak pernah mempermasalahkannya.

“Woi, jam pertama pelajaran apa, nih?” teriak Dwidya.

“Jam pertama sampai ketiga pelajaran Bahasa Indonesia,” jawab Aurora.

                Teman-temanku mengaduh bersahut-sahutan, sedangkan aku tetap santai. Mamaku, seseorang yang pertama kali memperkenalkanku dengan dunia sastra. Dulu, setiap aku meminta sesuatu, mamaku meminta 1 buah karya tulis sebagai syaratnya. Ia yang membuatku mengerti bahwa kita harus melakukan sesuatu untuk memperoleh apa yang kita inginkan. Jadi, untuk sekadar membuat sebuah puisi dan membacakannya di depan kelas, kurasa itu bukan sesuatu yang sulit.

“Selamat pagi, anak-anak!” sapa Ibu Floren, guru Bahasa Indonesia kami.

“Sudah siap tampil hari ini? Seharusnya, sih, sudah. Waktu latihan kalian kemarin sudah 2 minggu. Saya beri sedikit waktu untuk persiapan. Setelah itu, langsung saya panggil satu per satu dan kita mulai penilaian, ya,” sambungnya. Lalu, Ibu Floren memanggil nama kami satu per satu secara acak. Banyak dari kami yang terlihat belum siap, karena memang belum berlatih atau mungkin malas berlatih. “Quinna Archinta Varizta,” panggil Ibu Floren. Aku berjalan maju dan menempatkan diri. “Retorika Hujan, karya Quinna Archinta,” aku mengawali puisiku. “Lagi-lagi tentang hujan,” gumam teman-temanku. Aku membaca puisiku dengan semaksimal mungkin dan seketika kelas senyap. Setelah puisiku habis terbaca, kelas masih saja senyap. “Luar biasa,” puji Bu Floren memecah kesunyian dan diikuti dengan tepuk tangan teman-temanku. Aku kembali ke tempat dudukku masih dengan tatapan kagum dari mata teman-temanku. Praktik kembali dilanjutkan dan beberapa temanku mulai memperlihatkan wajah tidak bersemangatnya. Bel istirahat berbunyi, teman-temanku berhamburan keluar kelas. Ada beberapa yang nekat menerobos derasnya hujan, namun banyak yang memilih untuk kembali ke kelas dan menikmati istirahat di dalam kelas. Masih dengan pakaian yang setengah basah, aku mencoba untuk kembali terlelap. Kurang tidur dan terguyur hujan tadi pagi sepertinya adalah alasan mengapa kepalaku terasa berat dan mataku pun berkunang-kunang.

                Aku menatap kosong ke arah aula. Sekelebat kulihat bayangan seseorang yang dahulu selalu tersenyum padaku. Seseorang yang selalu menjadi pelampiasan amarahku bahkan sekalipun itu bukan salahnya. Dan, kini dia di sana telah bersama seseorang yang lain. Tapi, apa peduliku? Dahulu, aku yang memaksanya untuk menjauh, namun mengapa juga malah aku yang menyesal?

“Aku memang mencintai hujan. Tapi, aku tidak ingin seperti hujan, yang selalu kamu harapkan kehadirannya tetapi membiarkanmu sakit karenanya. Aku memilih untuk tidak kamu cintai, aku memilih untuk tidak menjadi hujan,” ucapan terakhirku kala itu sebelum akhirnya dia benar-benar pergi. Ya, mungkin penyesalan macam itu selalu datang di akhir. Sampai waktu menyadarkanku betapa berarti orang sepertinya. Betapa sulit mendapatkan senyuman dari seseorang sepertinya ketika aku hanya sendiri dan tak seorang pun peduli kecuali dirinya. Ketika hanya dia yang bersedia mendengarkan teriakanku, sedangkan suara kecilnya tak pernah kudengar. Dan, ketika diam-diam namanya menembus dinding hati yang bahkan untuk menyentuhnya pun orang lain tak bisa.

                Aku tersadar dari lamunanku dan segera bangkit berdiri. Menerjang hujan untuk sekadar bernostalgia tentang aku dan dirinya kala pernah basah bersama. Ketika namaku dipanggilnya dalam gigil. Masih ingatkah dia dengan nama itu? Ah... Rindu ini seperti hujan, begitu deras dan tak tertahankan. Namun, aku membiarkan diriku larut dalam tiap tetesnya dan membiarkan rindu ini terus mengalir. Tapi, apa bisaku? Hanya belajar dari hujan tentang bahasa air, bagaimana berkali-kali jatuh tanpa sedikitpun mengeluh pada takdir.

Cemara Marhaendri – 9 Jangkarbumi

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment