Article Detail
Budaya dan Asrama Dalam Perspektif Pengembangan Sekolah
Budaya dan Asrama Dalam Perspektif Pengembangan Sekolah
Oleh: Robertus Suka Yuliana, S.Pd.
“Waao .. daging semua …” demikian ungkapan yang sering kita dengar untuk mengungkapkan kekaguman terhadap sesuatu yang biasanya dirasa sangat bermanfaat, sangat bagus, atau ungkapan senada lannya.Ungkapan itu juga cocok untuk mengomentari kegiatan HSG (Hari Studi Guru) yang dilaksanakan pada Sabtu, 28 September 2024 melalui media on line yaitu G meet oleh SMP Stella Duce 2 Yogyakarta. Tidak saja bagus dari segi kwalitas dari para pemateri tapi juga kepintaran moderator dalam menata waktu dan memberikan simpul-simpul pembicaraan pada pertemuan itu, termasuk juga beberapa tanggapan yang cukup seksi dalam arti menggelitik dan merangsang pemikiran yang down to earth sehingga bisa memunculkan pemikiran lebih jauh untuk mengulik kekayaan sekolah dan mengembangkannya secara optimal yang selama ini mungkin belum terkemas rapi. Pemateri pertama adalah Scholastica Eky Cahyaningrum, S.Pd; Guru Bahasa Jawa, yang mempresentasikan satu potret yang mungkin tidak atau jarang tersentuh oleh lajunya perkembangan budaya berwarna modernisasi yang “sering” untuk tidak mengatakan selalu meninggalkan pengetahuan orang pada satu peninggalan budaya yang bernama “tradisi”. “Sopan Santun Peserta Didik : Integrasi Budaya dan Bahasa Jawa dalam Pembelajaran” demikian yang menjadi judul presentasi dari Bu Eky, dan berhasil dibawakanya tetap dalam suasana canda tapi kaya dengan informasi seputar Kraton Ngayogyakarta Hadiningat. Dengan cukup lancar beliau sampaikan istilah “Sangkan Paraning Dumadi” yang berawal dari Panggung Krapyak ke utara menuju Kraton dan dilanjutkan dari Tugu Pal Putih Yogya ke selatan menuju Kraton. Dari uraian yang cukup padat karena banyaknya informasi yang mesti disampaikan karena begitu kaya dengan simbol -simbol filosofis budaya Jawa di dalamnya membuat satu gambaran betapa mengagumkan budaya Jawa yang tercermin dalam bangunan arsitektur kraton Yogyakarta. Sebagai sekolah yang bangunannya berada di lokasi yang cukup dekat dengan Kraton, pengenalan terhadap Kraton dan simbol-simbol budayanya tentu akan menjadi dasar yang kuat mengapa “sopan-santun” sebagai salah satu produk budaya Jawa perlu diintegrasikan kepada anak didik dalam pembelajaran sebagai bentuk pendidikan karakter dan sangat ungkin menjadi satu keunggulan sekolah. Pemateri kedua adalah Ester Nurhana Kusumastuti, M.Si; Pamong Asrama, yang dengan lancar dan tidak kalah menarik dari pemateri pertama juga mempresentasikan materi berjudul “Bertumbuh Bersama di Asrama Ala Gen Z dan Gen Alpha”. Sepintas dari pilihan diksi yang dipilih pada judul ini pun sudah tersirat bagaimana nuansa dari topik kedua ini. Dan memang benar paparannya yang mendasarkan pada beberapa referensi-referensi itu menunjukkan bahwa Bu Hanna atau Bu Ester ini adalah sosok yang gemar membaca, yang kaena usia beliau tidak terpaut jauh dengan budaya yang tumbuh juga pada generasi sekarang (generasi Z) membawa budaya yang bernuansa kekinian. Problematika yang dikemukakannya seputar kehidupan anak-anak asrama dengan segala macam dinamika di dalamnya memberikan gambaran bagaimana pelik namun menarik mendampingi anakanak generasi Z dan alpha dalam satu “rumah” yaitu Asrama. Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan yang mesti dipahami sebagai satu dinamika yang terjadi di Asrama, sekolah dan lebih tepatnya stake holder harus memahami bahwa sekolah berasrama adalah satu harapan ketika perspektif menuju sekolah yang “diminati” agar tetap terjaga eksistensinya menjadi satu pertimbangan yang menantang. Dari cerita tentang masalah di antara anak asrama, antara anak asrama dengan sekolah, bagaimana mengintegrasikan budaya di sekolah (termasuk segala aturannya) termasuk pendidikan karakter yang juga mesti dihidupi oleh asrama, hingga berbagai macam tingkah laku yang bervariasi karea pengaruh kebiasaan budaya asal anak, termasuk gaya bicara, gaya berkomunikasi, diksi-diksi yang digunakan semua secara ringan namun berbobot berhasil dibincangkan dalam pertemuan HSG ini. Memang ada satu yang kontras dan mesti bijak untuk menyikapi karena sekolah berasrama untuk tingkat SMP pada kenyataanya masih jarang, dan sangat potensial menjadi daya pikat calon-calon peserta didik baru dari berbagai daerah, di sisi lain potensi mengembangkan sekolah berbasis budaya juga sangat menarik untuk dikembangkan terutama bagi SMP Stella Duce 2 Yogyakarta dengan lokasinya yang khusus juga. Karena singkatnya waktu memang belum ada pembahasan yang mendalam tetapi bahwa itu sebagai satu “regol” untuk masuk ke pembicaraan selanjutnya, pertemuan HSG ini rasanya tepat. Maka selanjutnya ada di tangan kita bagaimana dua topik tersebut akan kita angkat sehingga menjadi sebuah keungulan bagi sekolah. Terlepas dari munculnya satu harapan kedepan dari pertemuan Sabtu Seru dalam HSG ini, salut juga kepada moderator, Yohanes Sulistya Adventtyas, S.Pd. yang berhasil menata dengan cakap jalannya pertemuan HSG. Mengutip apa yang sudah disampaikan oleh Pak Advent dalam simpulan akhir yang mengatakan “Ngeli Ning Ojo Keli” (hanyut tapi jangan terhanyut – maaf jika tidak tepat menterjemahkan ) dan “Fleksibel tapi Konsisten”. Fleksibel berarti tidak kaku, tetapi konsisten untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Terima ksih untuk semua pemateri dan moderator dan pada kita bersama HSG yang sungguh ….. daging semua. Satu-satunya kekurangan adalah terbatasnya waktu dan referensi kita. Semoga sekolah kita semakin berkembang … Salam Tarakanita : Satu Hati Satu Semangat Tarakanita … Yesss… Budaya dan Asrama Dalam Perspektif Pengembangan Sekolah (HSG ; 26 September 2024) Robertus Suka Yuliana, S.Pd. “Waao .. daging semua …” demikian ungkapan yang sering kita dengar untuk mengungkapkan kekaguman terhadap sesuatu yang biasanya dirasa sangat bermanfaat, sangat bagus, atau ungkapan senada lannya.Ungkapan itu juga cocok untuk mengomentari kegiatan HSG (Hari Studi Guru) yang dilaksanakan pada Sabtu, 28 September 2024 melalui media on line yaitu G meet oleh SMP Stella Duce 2 Yogyakarta. Tidak saja bagus dari segi kwalitas dari para pemateri tapi juga kepintaran moderator dalam menata waktu dan memberikan simpul-simpul pembicaraan pada pertemuan itu, termasuk juga beberapa tanggapan yang cukup seksi dalam arti menggelitik dan merangsang pemikiran yang down to earth sehingga bisa memunculkan pemikiran lebih jauh untuk mengulik kekayaan sekolah dan mengembangkannya secara optimal yang selama ini mungkin belum terkemas rapi. Pemateri pertama adalah Scholastica Eky Cahyaningrum, S.Pd; Guru Bahasa Jawa, yang mempresentasikan satu potret yang mungkin tidak atau jarang tersentuh oleh lajunya perkembangan budaya berwarna modernisasi yang “sering” untuk tidak mengatakan selalu meninggalkan pengetahuan orang pada satu peninggalan budaya yang bernama “tradisi”. “Sopan Santun Peserta Didik : Integrasi Budaya dan Bahasa Jawa dalam Pembelajaran” demikian yang menjadi judul presentasi dari Bu Eky, dan berhasil dibawakanya tetap dalam suasana canda tapi kaya dengan informasi seputar Kraton Ngayogyakarta Hadiningat. Dengan cukup lancar beliau sampaikan istilah “Sangkan Paraning Dumadi” yang berawal dari Panggung Krapyak ke utara menuju Kraton dan dilanjutkan dari Tugu Pal Putih Yogya ke selatan menuju Kraton. Dari uraian yang cukup padat karena banyaknya informasi yang mesti disampaikan karena begitu kaya dengan simbol -simbol filosofis budaya Jawa di dalamnya membuat satu gambaran betapa mengagumkan budaya Jawa yang tercermin dalam bangunan arsitektur kraton Yogyakarta. Sebagai sekolah yang bangunannya berada di lokasi yang cukup dekat dengan Kraton, pengenalan terhadap Kraton dan simbol-simbol budayanya tentu akan menjadi dasar yang kuat mengapa “sopan-santun” sebagai salah satu produk budaya Jawa perlu diintegrasikan kepada anak didik dalam pembelajaran sebagai bentuk pendidikan karakter dan sangat ungkin menjadi satu keunggulan sekolah. Pemateri kedua adalah Ester Nurhana Kusumastuti, M.Si; Pamong Asrama, yang dengan lancar dan tidak kalah menarik dari pemateri pertama juga mempresentasikan materi berjudul “Bertumbuh Bersama di Asrama Ala Gen Z dan Gen Alpha”. Sepintas dari pilihan diksi yang dipilih pada judul ini pun sudah tersirat bagaimana nuansa dari topik kedua ini. Dan memang benar paparannya yang mendasarkan pada beberapa referensi-referensi itu menunjukkan bahwa Bu Hanna atau Bu Ester ini adalah sosok yang gemar membaca, yang kaena usia beliau tidak terpaut jauh dengan budaya yang tumbuh juga pada generasi sekarang (generasi Z) membawa budaya yang bernuansa kekinian. Problematika yang dikemukakannya seputar kehidupan anak-anak asrama dengan segala macam dinamika di dalamnya memberikan gambaran bagaimana pelik namun menarik mendampingi anakanak generasi Z dan alpha dalam satu “rumah” yaitu Asrama. Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan yang mesti dipahami sebagai satu dinamika yang terjadi di Asrama, sekolah dan lebih tepatnya stake holder harus memahami bahwa sekolah berasrama adalah satu harapan ketika perspektif menuju sekolah yang “diminati” agar tetap terjaga eksistensinya menjadi satu pertimbangan yang menantang. Dari cerita tentang masalah di antara anak asrama, antara anak asrama dengan sekolah, bagaimana mengintegrasikan budaya di sekolah (termasuk segala aturannya) termasuk pendidikan karakter yang juga mesti dihidupi oleh asrama, hingga berbagai macam tingkah laku yang bervariasi karea pengaruh kebiasaan budaya asal anak, termasuk gaya bicara, gaya berkomunikasi, diksi-diksi yang digunakan semua secara ringan namun berbobot berhasil dibincangkan dalam pertemuan HSG ini. Memang ada satu yang kontras dan mesti bijak untuk menyikapi karena sekolah berasrama untuk tingkat SMP pada kenyataanya masih jarang, dan sangat potensial menjadi daya pikat calon-calon peserta didik baru dari berbagai daerah, di sisi lain potensi mengembangkan sekolah berbasis budaya juga sangat menarik untuk dikembangkan terutama bagi SMP Stella Duce 2 Yogyakarta dengan lokasinya yang khusus juga. Karena singkatnya waktu memang belum ada pembahasan yang mendalam tetapi bahwa itu sebagai satu “regol” untuk masuk ke pembicaraan selanjutnya, pertemuan HSG ini rasanya tepat. Maka selanjutnya ada di tangan kita bagaimana dua topik tersebut akan kita angkat sehingga menjadi sebuah keungulan bagi sekolah. Terlepas dari munculnya satu harapan kedepan dari pertemuan Sabtu Seru dalam HSG ini, salut juga kepada moderator, Yohanes Sulistya Adventtyas, S.Pd. yang berhasil menata dengan cakap jalannya pertemuan HSG. Mengutip apa yang sudah disampaikan oleh Pak Advent dalam simpulan akhir yang mengatakan “Ngeli Ning Ojo Keli” (hanyut tapi jangan terhanyut – maaf jika tidak tepat menterjemahkan ) dan “Fleksibel tapi Konsisten”. Fleksibel berarti tidak kaku, tetapi konsisten untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Terima ksih untuk semua pemateri dan moderator dan pada kita bersama HSG yang sungguh ….. daging semua. Satu-satunya kekurangan adalah terbatasnya waktu dan referensi kita. Semoga sekolah kita semakin berkembang … Salam Tarakanita : Satu Hati Satu Semangat Tarakanita … Yesss!!…
-
there are no comments yet